Malam turun perlahan di Pura Jagat Nata. Dalam semilir angin yang menyusup di antara pelataran suci dan harum dupa yang menggantung di udara, dua puluh anak berdiri bersisian. Wajah-wajah mungil itu bersinar oleh keharuan, diselimuti cahaya lampu dan kasih yang tak kasat mata. Mereka bukan sekadar berpamitan dari masa kecil, tapi sedang melangkah dari dunia bermain menuju dunia nilai.
Malam itu, Sabtu 17 Mei 2025, Pratama Widyalaya Sri Ganesha menggelar acara perpisahan. Namun bukan sekadar acara seremonial biasa. Di bawah naungan pura, dengan lantunan kidung dan denting gamelan yang lembut, suasana berubah menjadi peristiwa yang sarat makna dan spiritualitas.
Mengusung tema “Masa Lalu Indah, Masa Depan Cerah, Ukir Prestasi Wujudkan Generasi Suputra”, acara ini menjadi refleksi sekaligus harapan. Tema tersebut menggambarkan perjalanan yang telah dilalui anak-anak selama berada di TK Sri Ganesha, sekaligus cita-cita besar untuk melahirkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan berakhlak mulia.
“Ibu guru bangga pada kalian,” ujar kepala sekolah dengan suara yang hampir tenggelam oleh isak haru. Matanya berkaca-kaca, melihat para murid yang selama ini digendong cinta dan kesabaran, kini bersiap mengembangkan sayap.
Ia juga berterima kasih kepada para orang tua yang telah mempercayakan putra-putrinya dididik di TK Sri Ganesha, sekaligus memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan dalam proses mendidik.
Ketua Yayasan Pendidikan Hindu Batara Guru, Wayan Silayasa, SP, berdiri di tengah pelataran. “Sri Ganesha bukan hanya tempat belajar membaca dan berhitung. Ini rumah pembentuk karakter, tempat benih suputra—anak-anak cerdas dan berakhlak mulia—ditanam dengan cinta,” tuturnya. Ia pun mengajak semua pihak, termasuk PHDI dan Penyelenggara Hindu, untuk terus mendukung keberlangsungan lembaga ini yang sejak tahun 2000 mengandalkan swadaya umat di Desa Kertoraharjo.
Camat Tomoni Timur, Yulius, hadir malam itu. Dalam sambutannya yang hangat, ia menyampaikan rasa kagum terhadap eksistensi TK Sri Ganesha yang telah bertahan selama 25 tahun tanpa sokongan besar, namun mampu tumbuh dengan akar kuat dari partisipasi umat. Ia memuji dedikasi para guru dan kepala sekolah yang tidak hanya mengajar huruf dan angka, tapi menanamkan nilai budi pekerti yang dalam.
“Saya bangga, bukan hanya karena lembaga ini berdiri dari semangat swadaya, tetapi juga karena ia terbuka untuk semua. Ada anak-anak dari keluarga non-Hindu yang juga belajar di sini, dan mereka diperlakukan sama dengan penuh kasih,” ujar Camat Tomoni Timur, disambut tepuk tangan hadirin. “Apapun hambatannya, lembaga ini harus terus hidup. Ia terlalu berarti bagi masa depan anak-anak usia dini di desa ini.”
Ketua PHDI Luwu Timur, Nyoman Sugiana, turut mengingatkan pentingnya menjaga keberlanjutan lembaga. “Mari kita cari donatur, sekecil apa pun. Seperak dari hati yang ikhlas bisa menjadi cahaya yang menerangi perjalanan pendidikan anak-anak kita.”
Made Tirtayasa, S.Ag, Penyelenggara Hindu Kabupaten Luwu Timur, menambahkan bahwa keberadaan TK Sri Ganesha lahir dari inspirasi para orang tua. “Bunda-bunda pengajar di sini tak hanya mendidik dengan ilmu, tapi dengan hati,” katanya.
Sementara itu, PJ Kepala Desa Kertoraharjo, Febri Ramadhany, menekankan pentingnya menanamkan nilai-nilai moral sejak usia dini. “Ajarkan anak-anak kita untuk berkata tolong, maaf, dan terima kasih. Itu adalah dasar dari semua akhlak mulia.”
Rangkaian acara malam itu begitu semarak namun sarat makna. Anak-anak tampil membawakan tarian kreasi daerah, modern dance, doa-doa harian, fashion show, hingga nyanyian yang menggetarkan hati. Di akhir acara, anak-anak berdiri di hadapan para bunda—guru dan ibu mereka—mengucapkan terima kasih dengan penuh haru, sebagai simbol penghargaan atas kasih dan bimbingan yang mereka terima selama ini.
Langit malam Pura Jagat Nata jadi saksi: sebuah lembaga kecil, yang dibangun di atas semangat gotong royong, sedang menyalakan obor masa depan. Di tengah keterbatasan, ia tetap bersinar. Seperti cahaya lilin dalam kegelapan, kecil namun penuh harapan.
Dan malam itu, dengan pelukan terakhir, anak-anak itu berpamitan. Tapi tidak dengan air mata. Mereka membawa serta kenangan dan nilai, untuk ditanamkan kembali di mana pun kaki kecil mereka melangkah (Red)