MENTARI baru saja menyibak kabut pagi Desa Margomulyo, Kecamatan Tomoni Timur, Kabupaten Luwu Timur. Di lahan seluas 24 hektare itu, suara gemuruh mesin hand tractor terdengar bersahut-sahutan, memecah keheningan yang menyelimuti persawahan. Di sanalah, di tengah lumpur yang lengket dan embun yang belum habis, para petani dari Kelompok Tani Ukir Sari mulai hari dengan cara yang sederhana: menanam padi, menanam masa depan.
Kelompok Tani Ukir Sari bukan nama lama. Ia baru berdiri pada 2024, digagas oleh 19 orang petani yang percaya bahwa sawah adalah sekolah kehidupan, dan tanah yang diolah dengan tekun tak pernah ingkar janji. Di bawah kepemimpinan Mangku Gede Santika, kelompok ini menunjukkan bahwa keberhasilan tak hanya datang dari pengalaman panjang, tapi dari semangat kolektif dan kerja yang tak kenal lelah.
Tak butuh waktu lama bagi Ukir Sari untuk menjadi perbincangan. Dalam musim tanam pertamanya, kelompok ini sudah mencatatkan hasil panen yang mengesankan: 7,5 ton gabah kering panen per hektare. Angka itu bukan hanya statistik, tetapi bukti bahwa keuletan mereka berbuah nyata.
Lalu datanglah hari itu. Senin pagi, 19 Mei 2025, Menteri Pertanian Republik Indonesia, Amran Sulaiman, menginjakkan kakinya langsung di sawah Ukir Sari. Langit Margomulyo yang setengah mendung menyapa sang Menteri dengan lembut, seolah memberi restu. Bagi para petani, kedatangan sang menteri bukan sekadar seremoni pejabat. Itu adalah pengakuan, sekaligus berkah tersendiri yang tak mereka sangka datang begitu cepat.
Amran Sulaiman tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa bantuan benih padi unggul varietas Impari 32 berlabel ungu, dan kelompok tani Ukir Sari kebagian 600 kilogram. “Ini untuk musim tanam berikutnya. Kita ingin petani Luwu Timur bisa menjadi contoh bagi daerah lain,” ujarnya kepada para petani yang berkumpul di tepi sawah saat panen raya .
Kehadiran menteri mempertegas satu hal: bahwa kerja keras para petani tak luput dari perhatian. Sejak awal, kelompok ini tak berjalan sendiri. Di belakang layar, ada sosok yang bekerja senyap namun penuh dedikasi: I Wayan Silayasa, penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang setiap hari mendampingi petani dari awal pembibitan hingga pemasaran.
“Kami tidak hanya mengajari cara menanam, tapi juga memastikan hasilnya bisa diterima pasar dengan baik,” kata Wayan, yang hampir setiap hari menjejakkan kaki di sawah.
Di tengah hamparan tanaman padi yang mulai menguning, harapan tumbuh tak kalah subur. Ukir Sari memang belum sebesar kelompok tani di sentra-sentra pertanian utama. Namun, dari tepi timur Luwu itu, mereka mulai membuktikan bahwa kemajuan pertanian tidak selalu lahir dari kota besar. Kadang, ia tumbuh dari lumpur yang dikerjakan dengan hati.
Kini, dengan bantuan benih unggul, dukungan pemerintah, dan pendampingan yang berkelanjutan, Kelompok Tani Ukir Sari bersiap menyambut musim tanam baru. Mereka tak sekadar menanam padi—mereka menanam kisah tentang kerja keras, kolaborasi, dan keberanian bermimpi.
Dari Desa Margomulyo, dari petak-petak sawah yang tak pernah sepi dari langkah kaki para petani, janji hijau itu terus tumbuh. (Red)